Resensi Novel "RINDU" - Tere Liye
Identitas
Buku
Judul : Rindu
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Republika Penerbit
Kota Terbit : Jakarta
Tahun Terbit : 2014
Cetakan : Ke – 1
Deskripsi Fisik : 544 hal ; 13.5 x 20.5 cm
ISBN : 978-602-8997-90-4
Novel “RINDU” adalah novel ke Sembilan
dari karya Tere Liye yang telah saya baca, termasuk kumpulan sajak “Dikatakan
Atau Tidak Dikatakan Tetap Cinta”. Tere liye mempunyai ciri khas ketika menulis
suatu novel yaitu memberikan satu tema dalam setiap novelnya, seperti Novel
“Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah” bertema Cinta Sejati, atau “Sunset Bersama Rosie” tentang makna
kesempatan. Selain itu Tere liye juga selalu bercerita dalam ruang lingkup
keluarga, yang pastinya ketika mengurai cerita akan menguras emosi pembacanya.
Karena itu saya selalu menunggu karya –
karya baru yang akan di keluarkan oleh Tere liye termasuk novel “RINDU” ini.
Berikut sinopsisnya :
Apalah arti memiliki,
Ketika diri kami sendiri bukanlah milik
kami?
Apalah arti kehilangan,
Ketika kami sebenarnya menemukan banyak
saat kehilangan, dan sebaliknya, kehilangan banyak pula saat menemukan?
Apalah arti cinta,
Ketika kami menangis terluka atas
perasaan yang seharusnya indah? Bagaimana mungkin, kami terduduk patah hati
atas sesuatu yang sebenarnya suci dan tidak menuntut apa pun?
Wahai, bukankah banyak kerinduan saat
kami hendak melupakan? Dan tidak terbilang keinginan
melupakan saat kami dalam rindu? Hingga
rindu dan melupakan jaraknya setipis benang saja.”
Ini adalah kisah tentang masa lalu yang
memilukan. Tentang kebencian kepada seseorang yang seharusnya disayangi.
Tentang kehilangan kekasih hati. Tentang cinta sejati. Tentang kemunafikan.
Lima kisah dalam sebuah perjalanan panjang kerinduan.
Seperti kata Tere Liye dalam media
social Facebook, “Novel “RINDU” lebih rumit dari novel “Rembulan Tenggelam di
Wajahmu”. Hal itu pula yang membuat saya penasaran ingin membacanya, karena
buat saya novel “Rembulan Tenggelam di Wajahmu” saja sudah rumit, yakni tentang
mencari makna hidup dan kehidupan yang diuraikan dengan lima pertanyaan dengan
lima jawaban.
Judulnya pun buat saya tertarik, awalnya
saya mengira novel ini tentang “kerinduan” seseorang terhadap orang terkasih,
namun setelah membacanya saya salah ini bukan novel tentang cinta kepada
seseorang, melainkan lebih dari itu rindu dan cinta kepada sang Maha Pencipta. Rindu untuk bertemu Tuhan di rumahnya yang
suci Masjidil Haram.
Cerita ini pun berlatar di suatu kapal
haji milik Belanda “Blitar Holland” masih dalam masa penjajahan Belanda pada
awal Desember 1938 atau Syawal 1357 H. Dari sinilah kisah dimulai saat Kapal
mendarat di pelabuhan Makassar untuk menjemput para penumpang, kemudian
berlanjut di Surabaya, Batavia, Lampung, Bengkulu, Padang, terakhir Banda Aceh,
untuk kemudian mengelilingi sepanjang samudera hindia sampai di Kolombo, dan
berlabuh di Pelabuhan Jeddah. Perjalanan laut kurang lebih selama satu bulan.
Adalah Gurutta Ahmad Karaeng ulama masyhur di zaman itu. Beliau terkenal
di Kota Makassar sampai Pare-pare, Daeng Andipati seorang saudagar kaya dan
berpendidikan di Makassar Seorang kelasi yang sejak kecil sudah menjadi pelaut
Ambo Uleng. Mbah Kakung Slamet dari Surabaya, serta Bonda Upe seorang mualaf. Dari masing-masing tokoh
tersebut memiliki satu pertanyaan yang dijawab juga oleh tokoh dalam Novel ini.
Karena ini dalam sebuah kapal, jadi
sebagian besar latar cerita hanya berada di sekitar kapal yaitu kabin, kantin, ruang
kemudi, Masjid, dan dek.
“Setiap
perjalanan selalu disertai oleh pertanyaan-pertanyaan” (hal
: 222)
Pertanyaan pertama di awali oleh Bonda
Upe yang memiliki masa lalu yang buruk, bahkan ketika akan mengunjungi tanah
suci pun dia sempat ragu maka muncullah pertanyaan-pertanyaan “Apakah Allah akan menerimaku di tanah suci?
Apakah perempuan hina sepertiku berhak menginjak tanah suci? Apakah Allah akan
menerimaku…..”(hal : 310)
Pertanyaan ini pun di jawab oleh seorang
yang dituakan dalam cerita ini Gurutta
Ahmad Karaeng. Yang membagi ke dalam tiga bagian : “Berhenti lari dari kenyataan hidupmu, berhenti cemas atas penilaian
orang lain, dan mulailah berbuat baik sebanyak mungkin..” (hal : 315)
Pertanyaan kedua dari Daeng Andipati,
tentang kebencian kepada seseorang yang seharusnya disayangi, Daeng Andipati
bertanya “Apakah Aku bahagia Gurutta…”
(hal : 366). Kebanyakan orang hanya melihat dari sisi luarnya saja seorang
Daeng Andipati saudagar kaya dan berpendidikan ternyata mempunyai kebencian
yang sangat terhadap seseorang yang seharusnya disayangi karena perlakuan
seseorang tersebut yakni Ayahnya. Gurutta pun menjawabnya ke dalam tiga bagian
: “Berhenti membenci Ayahmu karena kau
sedang membenci diri sendiri. Berikanlah maaf karena kau berhak atas kedamaian
dalam hati, tutup lembaran lama yang
penuh coretan keliru bukalah lembaran baru…” (hal : 376)
Pertanyaan ketika dari Mbah Kakung
Slamet, tentang kehilangan kekasih hati. Sejak menikah berpuluh-puluh tahun
lamanya tak pernah terpisahkan, kemudian mereka berdua menabung untuk satu kesempatan
bisa pergi Berhaji bersama, dan ketika saatnya tiba, sebelum sampai di Jeddah,
salah satu dari mereka Istri yang sangat dicintainya menjemput takdir kematian.
Pertanyaannya adalah “Kenapa harus
sekarang..? kenapa harus ada di
lautan ini, tidak bisakah ditunda barang satu-dua bulan? ....” (hal : 489)
Gurutta menjawab dengan : “Yang pertama
yakinilah kematian Mbah putri adalah takdir Allah yang terbaik, Yang kedua
biarkan waktu mengobati semua kesedihan, Yang ketiga, lihatlah penjelasan ini
dari kacamata yang berbeda…” (hal 473)
Pertanyaan ke empat dari seorang kelasi
pendiam Ambo Uleng, (Lelaki yang bercahaya seperti rembulan) berada di kapal
haji ini pun dia hanya ingin lari dari kota Pare-pare pergi sejauh mungkin
hanya untuk meninggalkan semuanya, apalagi kalau bukan urusan cinta. Lalu
pertanyaannya : “Apakah itu cinta sejati?
Apakah kau besok lusa akan berjodoh dengan gadis itu? Apakah kau masih memiliki
kesempatan?” (hal 491)
Maka jawabannya adalah “Cinta sejati adalah melepaskan, semakin
sejati perasaan itu, maka semakin tulus kau melepaskannya. Maka besok lusa jika
dia adalah cinta sejatimu dia pasti akan kembali dengan cara mengagumkan. Jika
harapan dan keinginan memiliki itu belum tergapai, maka teruslah memperbaiki
diri sendiri sibukkan dengan belajar…” (hal 492-493)
Pertanyaan terakhir keluar dari ulama
masyhur, orang yang selama ini menjadi tempat bertanya, orang yang selama ini
bisa menjawab seluruh pertanyaan. Gurutta.
Tentang kemunafikan seorang yang selalu bisa berkata bijak kepada orang lain,
namun dia tidak mempunyai kalimat bijak untuk dirinya sendiri. Dan pertanyaan
tersurat yang tidak akan bisa dijawab dengan kalimat lisan, dengan tulisan,
namun dengan perbuatan tangan, yang menjadi klimaks dari novel ini.
Kelebihan novel ini, adalah rasa
kekeluargaan yang begitu dekat, gotong royong ketika dalam situasi genting
sekalipun, kata-katanya mudah dipahami, kalimat-kalimat bijak yang menjadi ciri
khas Tere Liye, salah satu tokoh Kapten Kapal dan beberapa kelasi yang
menunjukkan rasa kekerabatan terhadap penumpang yang negaranya sedang dijajah,
namun dalam novel ini tidak terlihat hal itu bahkan mereka sendiri juga protes
dengan aksi penjajahan itu. Dua tokoh anak kecil yang meramaikan suasana kapal
Anna dan Elsa.
Kelemahan novel ini, harapan saya
sebelum membacanya adalah saya akan menemukan makna yang boleh jadi lebih
seperti novel yang sama rumitnya
“Rembulan Tenggelam di Wajahmu”. Namun setelah selesai membacanya, novel
ini ternyata merangkum cerita dari tema-tema novel Tere Liye sebelumnya yaitu :
tentang kesempatan, tentang kehilangan, tentang cinta sejati, tentang sikap
hidup menerima, menerima yang terjadi telah menjadi ketentuan-Nya.
Kesimpulan. Novel ini layak di baca
untuk siapapun, terutama untuk orang-orang yang rindu memenuhi panggilan Allah ke Tanah Suci, tidak
semua orang berkesempatan mengunjunginya. Karena perjalanan haji adalah
perjalanan panjang penuh kerinduan.
Comments
Post a Comment