BORNO
“Astaga Mei, jika kau tidak percaya janjiku, bujang
dengan hati paling lurus sepanjang tepian Kapuas, maka siapa lagi yang bisa
kaupercaya?”
Kalimat di atas
adalah kutipan dari Novel karya Tere Liye berjudul “Kau, Aku, dan Sepucuk
Angpau Merah”. Sudah puluhan kumpulan cerpen maupun novel yang saya baca, namun
hanya karakter Tokoh Borno yang paling saya kagumi. Di usia enam tahun Borno
sudah memiliki pertanyaan yang tidak pernah bisa dijawab. Enam tahun kemudian
saat usia dua belas ditinggal oleh ayahnya, hingga usia 22 tahun mengenal yang
namanya cinta. Bertemu dengan cinta sejati, salah satu pertanyaan terumit
selain pertanyaan saat usianya enam tahun.
Sejak usia enam tahun,
Borno di gambarkan sebagai anak yang rajin membantu ibunya, Seperti membawa
hasil tangkapan ikan untuk dibawa ke pembeli di sekitar rumah mereka. Hingga
lulus SMA, Borno mulai bekerja apa saja yang penting halal dan baik, bekerja di
pabrik pengelolaan karet, penjaga karcis pintu masuk di dermaga feri, bekerja
di sarang burung walet, petugas SPBU terapung, yang kesemuanya itu tidak
bertahan lama sampai bekerja serabutan memperbaiki genteng, toilet mampet,
jendela lepas, bahkan mencari kucing hilang.
Melihat itu ibunya
dan Pak Tua (tokoh yang selalu menjadi tempat bertanya Borno), Koh Acong, Bang
Togar, dan beberapa tetangga lainnya
akhirnya memutuskan untuk mengajarkan Borno mengemudikan dan membuatkan
sepit, inilah yang menjadi pekerjaan tetapnya dan membawanya bertemu dengan
cinta sejati.
Borno merupakan
seorang pria yang lurus, jujur, seperti
ketika melihat kecurangan di dermaga pelabuhan feri, dia lebih memilih berhenti
dan tidak mau terlibat apalagi mengambil uang yang bukan haknya. Meskipun
mengemudikan sepit bertentangan dengan hatinya karena seperti melanggar wasiat
bapaknya, ‘Borno, jangan pernah jadi
pengemudi sepit’.
Menjadi pengemudi
sepit merupakan pekerjaan yang sederhana, cukup sabar menanti giliran antrian
dengan pengemudi sepit lainnya untuk membawa penumpang ke dermaga selanjutnya. Kemudian
penumpang naik, saat turun penumpang meletakkan uang di tempat yang telah
disediakan tanpa harus menghitungnya terlebih dahulu (sistem saling percaya).
Aktivitas di
sepanjang tepian Kapuas inilah yang mengantarkannya bertemu dengan cinta
sejati, seorang Borno yang begitu tulus, mengagumi seorang wanita yang entah
secara kebetulan selalu menaiki sepitnya setiap pagi hari tepat pukul 7.15 di
antrian No 13. Dan ternyata wanita itu menjadi bagian dari masa
lalu kematian Ayahnya.
Borno lelaki yang mau
belajar apa saja, seperti belajar di bengkel milik Ayah sahabatnya Andi
sepulang dari mengemudi sepit. Berkat ketekunannya hanya bermodal buku petunjuk
montir dan mencobanya, sedikit demi sedikit Borno bisa memperbaiki jika ada
kendaraan yang rusak di bengkel Ayah Andi.
Hingga beberapa tahun
kemudian Borno kuliah di jurusan mesin. Walaupun orang-orang sudah menganggap
Borno sudah mahir tentang mesin. Dan juga sudah membuka bengkel sendiri,
meski tentu saja tak pernah meninggalkan profesinya sebagai “pengemudi sepit”.
Sepit yang mengantarkannya bertemu dengan cinta sejati dengan semua intrik dan
permasalahan yang ada pada cerita di novel ini.
Saya mengambil makna dari karakter Borno. Adalah
seorang pria yang lurus, jujur, mau bekerja apapun, menekuni pekerjaannya, dan
untuk urusan cinta, ia menyerahkan semuanya seperti air mengalir. Walaupun
sebesar apapun cintanya kepada Mei.
“Cinta sejati adalah perjalanan. Cinta sejati tidak pernah memiliki
ujung, tujuan, apalagi hanya sekedar muara. Air di laut akan menguap, menjadi
hujan turun di gunung-gunung tinggi, kembali menjadi ribuan anak sungai,
menjadi ribuan sungai perasaan, lantas menyatu menjadi Kapuas. Itu siklus tak
pernah berhenti, begitu pula cinta…”
“Cinta sejati selalu menemukan jalan, Borno. Sayangnya orang-orang yang
mengaku sedang dirundung cinta justru sebaliknya, selalu memaksakan jalan
cerita, khawatir, cemas, serta berbagai perangai norak lainnya. Tidak usahlah
kau gulana, wajah kusut. Jika berjodoh, Tuhan sendiri yang akan memberikan
jalan baiknya. Kebetulan yang menakjubkan….”
“Dulu aku pernah bertanya pada Pak Tua, ‘kalau untuk Andi, Pak Tua punya
kalimat bijak dan cerita hebat yang cocok baginya, lantas untukku, apakah Pak
Tua juga punya?’. Pak Tua tersenyum, menepuk bahuku, “Tentu ada, Borno. Tentu
ada. Tapi aku akan membiarkan kau sendiri yang menemukan kalimat bijak itu, kau
sendiri yang akan menulis cerita hebat itu. Untuk orang-orang seperti kau, yang
jujur atas kehidupan, bekerja keras, dan sederhana, maka definisi cinta sejati
akan mengambil bentuk yang amat berbeda, amat menakjubkan.’ Kau tahu, Mei hari
ini aku mengerti kalimat Pak Tua….”
Comments
Post a Comment